Mendadak Single Fighter

Single Fighter?

Seringkan dengar istilah ini? Kalau menurut kamus Inggris-Indonesia https://kamuslengkap.id, single fighter artinya adalah berjuang sendiri. Pejuang tunggal kalo Google bilang. Iya ... sendirian, sorangan, dhewean, pemain tunggal .. 

Apa asyiknya ngobrolin single fighter ini? Banyak orang yang sudah bahas jugakan?

Sssstttt ... kalo disangkautpautkan sama kehidupan berumah tangga, bahas single fighter ini, gak cukup sehari semalam, bisa tujuh hari tujuh malam loh ...

Entah sudah berapa sering saya, si emak ini, mendengar dan menjadi saksi untuk cerita-cerita, para emak-emak itu, yang mendadak menjadi single fighter karena keberadaan pak suami yang antara ada dan tiada. Seperti bayangan, tampak ... tapi tak bisa disentuh. Atau seperti kabut? Yang seringkali menghilang saat fajar mulai meninggi? 

Menyaksikan wajah sedih, kecewa, kesal, gemas dan putus asa ... sering membuat saya jadi larut dengan cerita-cerita mereka. Iya, emak ini seringnya malah ikutan mewek (suweerrrr ... saya tuh hatinya emang Rinto banget, berbanding terbalik dengan cetakan aslinya, wajah jutek).

Rumah tangga itu emang gak sederhana (iya iyaaa ... yang sederhana itu rumah makan padang, noted!). Ada banyak hal-hal baru yang akan kita alami. Like a rollercoaster, up and down situations, but it's a life journey. Yang namanya perjalanan, lebih menyenangkan bila bersama teman. Perjalanan yang panjang tadi bisa terasa ringan. Tapi, kadang apa yang kita harapkan tidak selamanya kita alami. Saat teman seperjalanan ini berjalan bersama, tapi tidak berpegangan ... karena dia asyik berjalan sendiri, tanpa berpaling sedikitpun, meninggalkan kita dengan begitu banyak beban di tangan dan pundak, sungguh ... ada kecewa yang besar dan hati yang amat terluka. 

Bagaimana bisa kita menjalankannya sendiri, saat kendaraan hidup kita butuh dua orang nahkoda untuk bisa tetap berlayar menerjang ombak. Bawa motor atau mobil aja kita butuh dua tangan, agar dapat keseimbangan yang bagus, agar tidak oleng. Apalagi kendaraan hidup kita? Menjalankannya sendiri ibarat nyetir satu tangan. Oleng? 
Yang ada bisa K A R A M !

Sumber gambar : Google

Mendadak single fighter bagi sebagian para emak ini, membuat saya penasaran, apa sih sebenarnya yang ada dalam pikiran para suami ini, yang meyakini mereka bahwa istrinya bisa menjalani semuanya, dan baik-baik saja? 

Iya, saya melihat banyak para suami (gak semua ya ....) yang merasa tidak tergelitik atau tersentuh saat si istri jumpalitan mengatur waktu, menguras tenaga, pikiran dan emosi hanya agar satu hari itu berjalan lancar dan keadaan baik-baik saja. Belum lagi untuk mereka yang bekerja di ranah publik.  Mengatur urusan dapur, sekolah anak, anter jemput les, ngatur keuangan, ngurusin tukang, kerjaan, aahhh ... kebayangkan gimana si istri ini pontang panting mengatur segalanya agar berjalan baikkan? Dan ... si suami? Asyik aja dengan kerjaannya, gadgetnya, hobinya, dan acara kumpul-kumpul sama teman-temannya... C'mooonnnnnn ... (hmmmm, udah mulai bete belum? Saya nulis kok jadi ikutan bete ya? Hahahaha ...).

Ada banyak hal yang menjadi awal semuanya. Entahlah ... kadang, rasa yang dulu sehidup semati itu jadi basa basi. Saat hidup berjalan, rasa mulai berkurang dan akhirnya saling tidak peduli. Berumah tangga akhirnya tidak membuat kita saling dewasa dalam berfikir dan bersikap, semakin lama justru memunculkan ego anak-anak yang tak mau kalah. Kemana rasa itu? Masa sih hilang begitu saja ... bisakah?

Kadang, para suami tidak melihat betapa besar usaha yang dilakukan banyak istri untuk membuat rumah tetap rapi, disaat si anak hobinya memporakporandakan seisi rumah. Para suami juga mungkin alpa mengingat, betapa berpikir kerasnya si istri ini mikirin menu masakan hari ini, hanya sekedar si suami bisa menyatap hidangan dengan lahap dan anak-anak suka sehingga ga perlu beli makanan di luar yang bisa bikin dompet kering. Belum lagi  atur jadwal untuk anter jemput sekolah, beresin pekerjaan kantor, atur jadwal les anak-anak, mandorin tukang service, ... hal-hal yang terlihat kecil dan remeh temeh barangkali di mata para lelaki itu, tapi jujuuurrr ... saya yakin hampir 100% yakin, mereka tidak akan sanggup meski hanya berusaha untuk memikirkannya saja. Boro-boro deh mengerjakannya. Sedangkan kita? Itu mah makanan sehari-hari, iya kan mak? Di saat mengantar sekolah, di kepala sudah terjadwal berbagai macam kegiatan yang akan dilakukan. Saat masak, bisa sekalian nyuci, balesin WA, sambil sarapan pulak hahahaha ... Yes, we are master of multitasking. Kami, para emak ini memang mempunyai susunan otak yang lebih kompleks, hahahaha ...

Sumber gambar : Google

Dan semua kegiatan rutin yang melelahkan itu, yang mungkin dianggap remeh temeh oleh sebagian para suami, meski mereka sendiri gak sanggup mengerjakannya, cukup banget kok dibayar dengan ucapan terima kasih yang tulus dari suami. Iya, beneran cukup kok. Apalagi ditambah bonus dipijetin malamnya, heiiisss .... yakinlah, emak ini bakal tambah cinta. Tapi kenyataannya? Gak sedikit suami yang nyinyir loh ... dan itu menyakitkan, sungguh.

"Masak ini lagi?. Emang, gak ada menu lain?"
"Nilai si kakak kok dapetnya segitu? Mbok kamu ajarin biar dia paham".
"Anakmu ituloh ... dikasih tau, jangan kebanyakn nonton TV".

Aaaahhh ... banyaklah komen-komen dari para suami yang seringkali bikin hati para istri ini perih. Rasa-rasanya semua kesalahan tertuju ke istri. Bahwa segala sesuatu berjalan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, ya karena si istri gak benar menjalankannya. Haduuuuhhhh ... rasa sakit yang bercampur lelah dan capek itu, bikin tekanan emosi yang luar biasa loh. Nyeseeeekkk banget di dada. Belum lagi cerita-cerita tersebut dilengkapi dengan semakin dinginnya sikap para suami ini. Semakin sedikitnya obrolan hangat, dan semakin langkanya perhatian. 

Semua punya awal cerita yang berbeda-beda. Tapi semua sama, ada rasa yang hilang seiring dengan waktu yang tak henti berjalan. Sampai akhirnya kita sadar bahwa arah yang diambil ternyata berbeda. Sadar bahwa kita sudah tidak lagi berjalan beriringan? Ritme kita sudah tak seirama? 

"Lu enak, suami lu pengertian. Jadi, lu nggak mungkin ngerasain kaku hati diperlakukan suami kayak gini". 

Komen kayak gini langsung aja nyembur dari mulut teman saya, saat saya bilang kalau apa yang mereka rasakan itu sebenarnya sebagian besar juga dirasakan banyak perempuan, termasuk saya. Iya, saya, emak mature ini, hahahaha ...

"Tapi lu kok nggak keliatan bete? Nggak kelihatan stres?"

Hahaha ... dulu-dulu sih emang stress banget kalau sudah ngerasain kayak gini. Gado-gado banget, capek lahir batin. Jadi, saya hafal banget deh rasa yang sekarang dirasain teman-teman saya itu. Waktu itu, bisa dibayangin, gimana situasi emak ini dengan tiga anak perempuan yang jaraknya berdekatan, dan ditambah dengan urusan kantor? Saking stressnya, saya sempet punya asisten rumah tangga sampe tiga orang! Rumah malah jadinya rame banget ... dan saya tambah pusing, stress!
Sekarang? Seenggaknya saya nggak sestres dulu saat menyikapi mendadak single fighter ini. Bukan berarti gak bete sama sekali ya ... tetep kok, yang namanya dicuekin itu gak enak mak.

Saya inget banget, waktu itu orang tua saya sempet bilang bahwa dalam berumah tangga itu, sebaiknya tiap pasangan punya ILMU NGALAH dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Saat itu, masuk telinga kanan keluar telinga kiri saya aja. Yang ada dalam pikiran, apa-apaan sih disuruh ngalah? Masak kalau kita benar harus ngalah? Nggak ada kamusnya deh ... Mengalah itu berarti kalah, lemah ... hohoho ... No Way! 

Pada kenyataannya, makna mengalah itu sendiri, sungguh sangat dalam. Dan menurut saya, hanya orang-orang yang kuat sajalah yang mampu melakukannya. Bukankah menahan amarah hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang KUAT menahan emosi? Sanggupkah setiap orang melakukannya? Mengalahpun butuh kedewasaan. Tak ada egois untuk menang sendiri.

Berjalannya waktu, memang seperti itulah adanya. Banyak hal yang menghendaki saya untuk "mengalah". Awalnya, pastilah tertatih-tatih, berdarah-darah, penuh perjuangan. Tapi, semua sepadan dengan rasa yang kita dapatkan.

Sekarang, saya sendiri merasa lebih "ringan" menjalankan peran  mendadak single fighter ini. Nggak mau ambil pusing dengan perasaan yang dulu merasa tersakiti karena pak suami sepertnya kok cuek banget, nggak peduli. Membiasakan diri saya untuk berpikiran positif bahwa pak suami bukannya gak peduli tapi mungkin memang dia merasa bahwa apabila saya yang melakukannya, maka hasilnya akan jauh lebih hebat *puk puk puk ... ngayem-ngayem ke awek"e dhewe ....

Saya juga membiasakan diri untuk tidak "menggantungkan perasaan" saya berdasarkan respon orang lain. Saya sendirilah, yang menentukan untuk menjadi bahagia atau tidak, bukan orang lain bahkan  meski itu suami sendiri. Saya berhak atas perasaan saya sendiri. Dan ini yang seringkali diabaikan oleh para istri. Perasaan kita terlalu bergantung dengan keadaan di sekitar kita. Lihat suami asyik dengan gadgetnya, kita udah sensi luar biasa karena ngerasa bahwa suami lagi asyik chat sama teman perempuannya (padahal bisa jadi, suami lagi asyik ngebahas soal tender dengan teman bisnisnya ... yang perempuan, aaaihhhhsssss!) Atau, ngambek ogah masak karena hari ini suami pulang dari kantor langsung tidur, gak nyentuh masakan kita sama sekali yang seharian sudah capek-capek disiapkan. Atau hal-hal lain yang membuat kita jadi begitu sensitif. 

Saya belajar merespon sesuatu yang berpotensi menyakitkan hati dengan lebih simple dan rileks. Misal, pak suami asyik telpon atau balesin WA, ya ... biasanya sayapun iseng godain, nelponin dia dan berkali-kali kirim pesan lewat WAnya hahahahaha ... {emang enak dicuekin, ya kan?). Masakan nggak dimakan? Gampaaaaaang, masukin kulkas besok dihangatkan buat sarapan. Meski kadangkala, jebol juga pertahanan cueknya. Nah, mulai deh ceramah panjang kali lebarnya, semua kena semprot hahahaha ... dimaklumin ya mak, masih berproses ini ...

Saya juga selalu menyempatkan untuk Me Time di sela-sela kesibukkan emak-emak. Gak usah bayangin me time yang aneh-aneh deh ... selain gak sempet, kadang kitanya sendiri sudah malas mau pergi-pergi. Kadang saya merasa cukup dengan hanya berada di kamar, kunci pintu, sendirian, dengerin musik favorit ... paling lama satu atau dua jam, dan itu ... sudah sangat bisa balikin mood lagi. Atau, ngesot sebentar ke toko kue, nikmatin cake super lezat, sendirian! Hahahha .... makanan memang selalu berhasil balikin mood emak ini. Apapun itu ..., carilah mak, waktu untuk diri sendiri, nikmatin ... agar kita bisa tetap waras!

Nggak perlu ngiri dengan nasib teman yang dapat suami yang rasanya kok perfecto banget. Sudah perhatian, romantis, helpfull, hangat .... dan seabrek kehebatan dan kelebihan lainnya. Rasanya dunia gak adil ya Mak ... hahahaha ... sabaaaaarrrrrr, percaya aja deh, Tuhan selalu punya alasan-alasan baik menghadirkan seseorang untuk kita. Yang sering kita lupa, Tuhan mencintai kita dengan caraNya bukan cara kita, so ... enjoy your life, mak.

Sumber gambar : Google