Sabtu, 10 Maret 2018

Tak Perlu Orang Lain Untuk Membuatmu Bahagia



Apa yang membuat kita bahagia? Jawaban setiap orang pasti berbeda. Meski kadang memiliki jawaban yang sama, tapi pasti memiliki detail dan kadar yang berbeda. Mengapa? Karena bahagia itu letaknya di hati. 


Buat saya, emak dengan tiga anak perempuanini, melihat mereka akur dan saling sayang satu sama lain, rasanya sudah bahagia sekali. Masakan keasinan yang ludes disantap itu aja, sudah ngalahin rasa bahagia menang undian. Nilai rapor mereka bagus, bahagianya udah bisa ngalahin kayak yang dapat promosi jabatan. Mereka tumbuh sehat, bahagia emak sampe ke ubun-ubun rasanya. Too simple? Mungkin kelihatannya begitu, tapi tidak bagi emak-emak kayak saya. 

Mungkin kalian akan temui banyak bentuk bahagia lainnya yang terlalu sederhana untukmu tapi tidak untuk orang lain. Bahagia akan mencari bentuknya sendiri-sendiri. Jadi, terlalu naifkan bila kita mengharapkannya menjadi seragam? 

Memang situ nggak bahagia punya banyak uang? Ya bohong saja sih kalau saya bilang nggak. Tapi, esensi bahagia tiap orang yang memiliki banyak uang, pasti berbeda. Ada yang bahagia karena bisa menghabiskannya untuk belanja, jalan-jalan, menyumbangkannya ke orang lain, atau bahkan membiarkannya tersimpan di rekening! Mereka sudah sangat bahagia hanya melihat deretan angka yang melebihi enam digit di saldo tabungan! Beneran... saya punya teman yang seperti ini 😁. Bahagia itu tidak serumit yang kita bayangkan kok. Siapa yang bilang orang kaya pasti bahagia. Siapa juga yang jamin orang yang pintar pasti akan lebih bahagia hidupnya. Semua yang kita anggap batasan untuk sebuah kebahagian itu, pakai tolak ukur siapa sih? 

Mak, bahagia itu kita yang menciptakannya. Jadi ini persoalan bagaimana kita merespon atau bersikap terhadap sesuatu yang terjadi dalam hidup kita. Saya dalam proses dan terus belajar untuk dapat merespon dengan baik, hal-hal yang terjadi dalam hidup saya. Saya pastikan bahwa sayalah yang  menentukan sikap saya sendiri bukan orang lain, bahkan terhadap pasangan sendiri. Dan saya tidak membiarkan orang lain "merampas" hak saya untuk menentukan sikap dan perasaan saya. Kenapa harus mereka yang menjadi 'tuan' atas perasaan saya? Tapi kenyataannya, banyak kita temui orang-orang yang merelakan bahagianya karena orang lain. Mungkin salah satunya kalian, dan sayapun dulu begitu. Dengan berbagai alasan yang terlihat dan terdengar lebih 'mulia' dari rasa bahagia itu sendiri. Demi anak, demi suami, demi orang tua... Dan, hei lihatlah, ternyata untuk sebuah alasanpun kita 'bergantung' kepada orang lain!


Bahagia untuk diri sendiri itu, membutuh keberanian, right? Beribu alasan akan selalau ada untuk mencoba mengaburkannya membenarkan bahwa kita tidak atau belum patut bahagia. Belum kayalah, belum hebatlah, belum sempurnalah, belum baik, belum berjasa, dan belum-belum lainnya, kalo diurutin... panjangnya bisa ngalahin lapangan volley depan rumah saya nih. 

Saya sih nggak punya teori yang njelimet soal bahagia ini. Saya cuma meyakini bahwa kalau bukan saya sendiri yang menetukan perasaan bahagia, lha terus mau minta ke siapa? Disaat pasangan atau anak tidak memberikan respon yang saya inginkan, nggak mungkin jugakan saya colek tetangga sebelah rumah? Belajar untuk tidak menggantungkan perasaan kita terhadap orang lain itu, memang butuh latihan dengan jam terbang tinggi. 

Pada suatu waktu, saya sempat mengobrol singkat (tidak lebih dari 10 menit) dengan Ibu Septi (founder Ibu Profesional), di ruang transit, saat acara seminar Matrikulasi batch 3 Semarang. Saya sebagai moderator dan beliau sebagai pembicara. Waktu yang sebenarnya digunakan untuk berdialog mengenai teknis talk show yang nantinya akan berlangsung, saya manfaatkan sekalian (iyeeesss benar, aji mumpung hehehehe...) untuk menanyakan ke beliau, soal bahagia ini. Mengapa kadang saya masih merasa 'sakit' saat pasangan tidak bersikap seperti yang saya harapkan. Apa yang sebaiknya dilakukan agar masing-masing saling memahami dan mendukung. Dan jawaban bu Septi membuat saya tercenung cukup lama, plessss... tentunya dengan iringan nangis bombay! Jadi, di ruang transit itu, malah yang ada sesi curhat, hahaha. Jawaban bu Septi pada waktu itu, masih melekat di ingatan saya (meski tidak persis sama kalimatnya).


"Selesaikanlah diri kita terlebih dahulu. Pada saat kita sudah selesai dengan diri kita, maka sudah tidak ada lagi tuntutan. Saat kita sudah di tahap, selesai dengan urusan kita, maka yang ada, kita selalu ingin memberi, memberi dan memberi. Bila respon yang kita inginkan belum kita dapatkan dari pasangan atau orang lain, maka diri kita tidak akan tersakiti, karena kita sudah tidak menuntut. Mungkin proses itu akan membuat kita 'berdarah-darah'. Tapi, yakinkan diri bahwa inilah jalan kita menuju kebaikan. Ada tugas yang lebih mulia yang menantikan kehadiran kita sebagai Ibu, membersamai dan mendidik anak-anak".

Jleb! Rasanya seperti ditampar (ditampar sayang kalau ini mah). Kalau mau jujur, kita mungkin masih menuntut terlalu banyak ke pasangan. Harus mengerti kalau kita lagi marah, capek, bete, sensitif, perlu dipuji, perlu diperhatikan... sampai kadang-kadang mengabaikan ke hal-hal lain. Dan sering kali, anak-anaklah yang menjadi imbas dari kekonyolan kita untuk nggak selesai-selesai dengan 'urusan diri sendiri' ini. Kalau sudah begini, bagaimana kita mau bahagia? Bagaimana kita bisa ada untuk anak-anak kita? Bagaimana kita bisa berharap anak-anak akan tumbuh bahagia? Wong, Ibunya aja nggak bahagia!

Bahagia itu milik siapa saja. Buat saya, ibu yang bahagia itu mutlak! Karena dialah jantung di setiap keluarga. Jangan biarkan sekarat dengan rasa sedih, pedih dan kecewa sepanjang  hidupnya. Mengingat fitrah kita sebagai Ibu, setidaknya mampu membuat kita bisa segera move on untuk menyelesaikan 'PR' urusan diri sendiri ini. Tak perlu orang lain untuk membuatmu bahagia, mak... ciptakanlah!


Semarang, 11 Maret 2018


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tengkyuuuuuu udah mampir 🌝.

Seribu Cerita Dari Dapur

Dapur? Ini bagian rumah yang tidak terlalu sering saya sentuh. Bukan karena tidak bisa masak, tapi karena memang saya tidak begitu suka ...