Jujur ...Saat diminta menuliskan sesuatu tentang Ibu, sebagai salah sata "tugas" di Rumah Belajar Literasi Media http://iipsemarang.blogspot.com , ga banyak rasanya yang bisa saya ceritakan. Saya mungkin sedikit dari beberapa orang yang jauh lebih dekat dengan Ayah, bukan Ibu. Buat saya, sosok Ayah adalah segalanya. Entah kenapa, saya lebih lancar bercerita tentang apapun, bahkan itu soal cinta monyet saya, sama Ayah. Yes, I am a father''s little girl, semacam itulah ... dan hampir dua tahun ini, Ayah sudah berpulang.
Meski saya tidak begitu dekat dengan Ibu, tapi ... banyak hal yang akhirnya saya sadari bahwa Ibu banyak memberikan dan menanamkan nilai-nilai berharga dalam hidup yang hingga detik ini saya jalankan. Meski saya menyadarinya setelah saya tinggal terpisah (saya memilih kuliah di luar pulau) dan akhirnya berumah tangga serta memiliki anak, hingga berstatus menjadi Ibu. Saat ini dengan jarak yang terpisah cukup jauh, antara Semarang dan Jambi, meski komunikasi tidak terlalu sering, panjatan doa tiap bersujud merupakah salah satu ucapan rasa terima kasih dan bakti saya, anaknya.
Entahlah ... kadang saya merasa ingin waktu mundur sejenak. di masa puluhan tahun yang lalu, dimana aku mungkin bisa lebih dekat dengannya.
Ibuku, wanita sederhana yang luar biasa ...
Tak banyak menuntut dalam hidupnya.
Stereotipe perempuan dan ibu rumah tangga tempo dulu.
Dengan lima anak, empat perempuan dan satu laki-laki, Ibu seringkali sekaligus mengambil peran Ayah saat Ayah bekerja di pelosok hutan (oh ya ... Ayah saya bekerja di PERTAMINA di bagian off shore darat (pengeboran minyak di darat), dan seringkali berada di lokasi pekerjaannya di hutan, selama tiga sampai empat mingguan) dan tidak dapat dihubungi di saat-saat genting. Saat itu telepon sudah ada, fixed phone ya .... bukan HandPhone dan bunyinya kayak jam weker .... krrriiiiinnngggg .... krrriiiinngggg .... tetapi karena lokasi pekerjaan Ayah di pelosok hutan, seringkali tidak ada sinyal.
Disaat-saat seperti inilah, tanpa sadar Ibu mengajarkan kami untuk mandiri.
Pulang pergi sekolah atau les sendiri, periksa gigi sendiri ke Rumah Sakit yang lokasinya masih dalam satu komplek perumahan. Hal-hal yang dulu saya sebelin, karena beberapa temen saya pulang pergi dianter dan dijemput Ayah atau Ibunya. Sedangkan saya harus berjalan kaki dengan muka memerah terkena terik matahari.
Tidak hanya itu, tiap anakpun mendapatkan tugas minimal satu pekerjaan rumah tangga yang menjadi kewajibannya, padahal saat itu, di keluarga kami ada asisten rumah tangga, tapi Ibu tetap ngotot kalau kami harus mengerjakan pekerjaan tersebut. Bahkan, piring kotor bekas kami makan, harus cuci sendiri. Sepatu sekolah setiap Sabtu harus dicuci dan nggak boleh dicuciin. Hmmmmm ... benaran deh, saat itu rasanya dongkol banget. Dan sebelnya, alm.Ayah saya juga kompak dengan Ibu menerapkan perturan ini di rumah, hahahaha ...
Ibuku, wanita sederhana yang luar biasa ...
Lewat tangannya, tak pernah lelah beliau menyiapkan hidangan yang menjadi favorit kami masing-masing. Lima anak dengan selera yang berbeda-beda, Ibu siap menghidangkannya. Seingat saya, belum pernah Ibu merasa jenuh untuk masak. Hampir separuh waktu dalam sehari itu, dihabiskannya di dapur. Berkutat dengan bumbu dapur dan aroma masakan, hingga bau harum tubuhnyapun tergantikan dengan aroma sambal tanak dan semuar ayamnya yang paling enak sejagad raya. Hingga kinipun dengan kondisi kesehatan yang sudah tidak lagi baik, Ibu selalu menyempatkan memasaakkan makanan favorit saya bila saya pulang ke Jambi (Duh, tiba-tiba bau sambal tanak dan semuar ayam buatan Ibu langsung menusuk hidung ... kangen ...)
Ibuku, wanita sederhana yang luar biasa ...
Buatnya hidup adalah pengabdian.
Betapa beliau sangat menghormati dan mencintai alm.Ayah, suaminya yang pendiam.
Seingatku ... Ibu tidak pernah membantah apa yang dikatakan oleh Ayah.
Ibu (tampak) selalu mendukung perkataan atau keputusan Ayah.
Meski kadang, aku pernah mencuri lihat wajahnya yang tak senang akan sesuatu yang disampaikan oleh Ayah. Beliau cuma diam. Tak pernah kulihat dan ingat, Ayah dan Ibu bertengkar di depan kami, anak-anaknya.
Ibu menghormati alm. Ayah sebagai kepala keluarga di rumah kami.
Tanpa beliau sadari ... hal-hal seperti ini tertanam dalam diri saya.
Inipun saya sadari ketika saya telah berumah tangga.
Pernah saya bertanya ...
"Kenapa nggak ngomong sih Bu, kalau memang Ibu gak suka?"
"Untuk apa?"
"Ya, biar Ayah tau aja ..."
"Kalau cuma sekedar untuk tau saja, tidak penting. Malah nanti Ayahmu emosi kalau tak sela. Nanti saja ngomongnya kalau pas berdua Ayahmu"
Ibuku, wanita sederhana yang luar biasa ...
Baginya, pernikahan adalah sebuah keputusan besar dalam hidup.
Menikah berarti belajar menjadi manusia, arti hidup.
Beliau tidak pernah (mau) mencampuri urusan rumah tangga anak-anaknya.
Segoyah apapun atau seberat apapun masalah yang dihadapi anak-anaknya dalam berumah tangga, Ibu selalu berusaha bersikap netral.
Ibu menempatkan dirinya sebaik yang dia bisa. Baginya, masalah dalam rumah tangga akan menjadi lebih kisruh apabila ditanggapi banyak orang, bahkan itu orang tua sendiri. Karena orang lain tidak tahu permasalahan sebenarnya.
Saya dapat pelajaran ini saat saya masih single. Saat itu Ibu cerita, kalau beliau sepertinya lagi "disebelin" kakak saya, karena saat menceritakan masalah rumah tangganya, Ibu tidak berpihak kepadanya. Waktu saya tanya, kenapa Ibu gak berpihak ke kakak saya, yang notabene adalah anaknya sendiri, sekaligus pihak yang menjadi korban atau tersakiti dalam kasus rumah tangganya.
"Lha Ibu ndak tau persis masalahnya apa. Tiba-tiba diceritain kakakmu gini gitu .... Lha terus, Ibu mesti komentar apa?. Masalah rumah tangga itu ya masalah mereka berdua. Masak Ibu ikut-ikutan, ya gak pas. Ora ilok. Jangan libatkan orang lain dengan masalah kita. Bicarakanlah baik-baik, ndak usah pake emosi. Kok angel men toh, ngalah sedikit, tahan emosi, buat bicarakan masalahnya. Minikah itu, ya kamu kudu berani NGALAH. Mengalah untuk sesuatu yang baik, apa salah? Lagian, kenapa suaminya bisa begitu, ya jangan 100 persen menyalahkan suami. Lihat diri kita sendiri, sudahkah menjadi istri yang dicintai dan dihormati suami?"
Dueeeeennnggggg!!!
Jawaban Ibu bikin saya melongo.
Ibuku, wanita sederhana yang luar biasa ...
Saat ini, saya baru menyadari betapa banyak sebenarnya nilai-nilai yang diajarkan Ibu secara tidak langsung.
Tak pernah beliau memberikan wejangan macam-macam ke anaknya.
Tak pernah pula berkoar-koar memberikan nasehat A, B, C ...
Tak banyak teori ...
Dalam hidupnya yang sederhana ...
Dia mengajari tanpa menggurui
Dia hanya melakukan apa yang menurutnya baik dan yang menjadi keharusan
Dia hanya berusaha mengabdi pada pilihan hidupnya
Dia memberikan contoh ke kami, anak-anaknya ... bagaimana harusnya bersikap.
Ibuku, wanita sederhana yang luar biasa.


































