Senin, 29 Oktober 2018

Seribu Cerita Dari Dapur


Dapur? Ini bagian rumah yang tidak terlalu sering saya sentuh. Bukan karena tidak bisa masak, tapi karena memang saya tidak begitu suka masak, hehehehe.

Hanya, setiap pagi, saya sempatkan untuk membuat sarapan dan bekal anak-anak dan suami. Tidak ribet, hanya masakan-masakan sederhana yang mereka suka dan easy packing untuk menjadi bekal sekolah.

Anak-anak dan suami sebenarnya penyuka masakan saya. Jadi biasanya, sebisa mungkin di saat weekend, saya sempatkan untuk memasak menu lengkap (dengan catatan saat malas tidak melanda).

Urusan dapur, mulai dari masak dan mencuci perkakas, saya menyerah. Saya lebih baik pekerjaan rumah tangga lainnya dibanding memasak dan cuci cuci, hahahaha. 

Tapi di rumah, dapur saya cukup luas. Dan dimasa renovasi rumah ini, saya sudah mendesign bagaimana nanti dapur kami akan berubah. Dapur yang nyaman dan terbuka, dengan suasana yang hangat. Simple,  clean dan frinedly. Ini saya lakukan tidak hanya untuk saya pribadi, tapi ingin mengajak anak-anak saya (semua anak saya perempuan, remember?😄) untuk lebih mencintai dapur. Jangan tiru emaknyalah, baru ke dapur karena sudah menikah, hahahaha.

Dapur kami nantinya akan berubah seperti ini
(Pic from pinterest)
Kenapa saya berusaha merubah dapur saya dan menginginkannya lebih hangat dan terbuka? Saya menginginkan dapur yang tanpa sekat dengan meja makan dan ruang keluarga. Karena saya merasa, saat jam makan malam di keluarga kami, adalah saat paling nyaman untuk semua anggota keluarga bercerita. Saya ingin menjaga kenyamanan mereka bercengkrama di dapur. Mengingat setiap aroma masakan, racikan bumbu, bunyi penggorengan, menjadi bagian dari memori mereka tentang rumahnya. Menjadi bagian dari memori mereka tentang saya dan juga keluarganya. Menjadi kenangan manis dalam hidup mereka.

Saya mengingat, dapur rumah saya dulu semasa saya kecil, adalah suasana yang hangat. Ruangan yang tidak lebih besar dari 3x1.5 meter itu, selalu ramai dengan bunyi-bunyian dan aroma masakan. Kenangan itu melekat kuat di ingatan saya. Kadang, aroma semur ayam buatan Ibu, mengusik memori saya. Saya kangen dengan suasana seperti itu.

Dari dapur, ternyata saya belajar banyak hal. Tentang hidup. Bagaimana semuanya diolah dengan rasa cinta. Bagaimana semuanya berproses. Menikmati rendang daging, maka ada proses memasak 4 jam yang harus dijalankan. Tidak ada yang instan. Bila masakanmu terasa kurang asin, ada garam yang bisa ditaburkan. Bukankah hidup begitu juga? Bila ada yang dirasakan kurang, ada hal-hal yang bisa kita tambahkan hingga semuanya terasa pas. Tambahkan secukupnya, tak perlu berlebihan.

Kadang di dapur, kitapun perlu bereksperimen. Mencoba masakan baru, agar tak bosan. Hidup juga  begitukan? Perlu mencoba hal-hal baru agar lebih berwarna. Agar hidup kita lebih bervariasi. Yang namanya bereksperimen, tidak selalu berhasil tapi tak ada yang salah dengan yang namanya kegagalan. Yang penting ada niat dan usaha untuk mencobanya.

Dari dapur saya juga belajar menerima kritikan dengan elegan. Tiga anak saya adalah kritikus dan sekaligus fans masakan saya. Kalau apa yang saya sajikan tidak pas di lidah mereka, ya saya harus legowo bahwa masakan saya memang tidak enak. Entah itu yang terlalu pedas, asin atau rasanya yang aneh, hahahaha. Jujur saja, saya kadang bereksperimen masak dan sering gagalnya. Entah yang adonan keenceran atau kurang bumbu, sehingga rasanya jadi aneh.

Buat saya, dapur memang punya seribu cerita. Meski kemampuan masak saya sangat standar, tapi hadirnya dapur di keluarga kami adalah salah satu ruang yang memiliki peran vital. Karena dari situlah, seribu cerita dalam hidup kami bergulir.


#wanita&pena
#10dayschallange
#dapur
#RumbelLM

Minggu, 28 Oktober 2018

Three Little Angels



Saya selalu menikmati sebuah puisi Khalil Gibran yang berjudul On Children. Seperti mood booster buat saya. Puisi ini membuat saya lama tercenung pada saat pertama kali membacanya. 

" ... Lewat engkau mereka lahir tapi bukan darimu. Meski mereka bersamamu, tapi mereka bukan hakmu ..."" ... Sebab jiwa mereka penghuni masa depan yang tidak dapat kau kunjungi, bahkan tidak dalam mimpimu ..."


Beberapa kalimat awal di pusinya saja, dengan terjemahan bebas saya, saya sdh mulai merasa nggregel. Ada banyak hal keliru yang sudah saya lakukan kepada anak-anak saya. Rasanya, seperti tertampar dan tersadar dengan rasa sakit. 

Anak-anak, adalah inspirator saya. Karena mereka semua arah dan tujuan hidup saya berubah. Puisi Kahlil Gibran, On Children, adalah trigger buat hidup saya untuk segera berbenah. Kalau ditanya apakah dulu sudah membayangkan hal seperti ini? Absolutly Not!

My Inspirators
My three litle angel ini adalah ispirasi sekaligus motivator dalam hidup saya. Semua penilaian baik buruk hidup saya, indikatornya mereka. Penilaian mereka adalah ajuan saya. Dulu ... saya berpikir keras bagaimana caranya menjadi ibu yang sempurna untuk mereka. Berbagai cara dilakukan. Kadang lelah. Dengan efforts yang luar biasa untuk berusaha menjadi yang terbaik dan mendapatkan rewards tidak seperti yang saya harapkan, kecewa dan putus asa. Itu semua membuat saya stress. Saya semakin jauh dari predikat sempurna, mendekatpun tidak.

Tiga anak perempuan yang Allah titipkan kepada saya dan suami dalam kurun waktu lima tahun, membuat saya cukup kewalahan pada waktu itu. Tanpa orang tua yang mendampingi, saya belajar sendiri how to be agood mother for my own girls. Jangan tanya penampakan saya dalam rumah ya ... sungguh, tak sedap dipandang. 

Ketiga anak perempuan kami ini, Nayya (13 tahun), Danish (12 tahun) dan Jani (9 tahun), memiliki sifat dan sikap yang berbeda satu sama lain. Bagaikan langit, bumi dan outer space! Sungguh saya belajar banyak dari mereka tentang nilai-nilai baik dalam hidup. Menyadarkan saya tentang menghargai setiap perbedaan. Menerima, betapa mereka adalah prubadi-pribadi yang oaur biasa dengan caranya sendiri-sendiri. 

My Nayya
Nayya, putri tertua saya ini mengajarkan betapa hidup itu harus dinikmati. Meski bukan pribadi yang ekstrovert, tapi tidak juga introvert, dia juga mengajarkan banyak nilai kebaikan dalam berteman.  Anak yang strugle. Semakin ditekan, semakin dia mampu bertahan. Saya masih harus belajar banyak sama Nayya soal ini. Soalnya, mamaknya lembek, gampang mewekan 😁.

My Danish
Danish, putri kedua saya. Dia tipikal anak yang sangat patuh, by order. Sangat tertib dan teratur. Entah menurun dari siapa sikapnya ini. Sangat keras kepala (emaknya mirror nih). Meski bertubuh kecil, dia memiliki jiwa pemimpin yang tinggi. Sangat bertanggung jawab dengan apa yang sudah menjadi keputusannya. Suka berorganisasi dan sangat gemati! Emaknya? Cuma dape bagian keras kepalanya saja.

My Jani
Jani, putri bungsu saya. Saya berterima kasih atas hadirnya di dalam keluarga kami. Dia pribadi yang sangat unik, penuh rasa simapti dan empati dan daya khayalnya yang luar biasa. Karena hadirnya, saya benar-benar belajar memahami, bagaimana saya menerima sebuah perbedaan. Menerimanya bahwa tiap anak berbeda. Kadang saya merasa menjadi anak kecil di hadapannya. Celetukannya banyak yang menampar saya. "Aku memang nggak sepert mb Nayya dan mb Danish bun, aku memang ga bisa mudah paham dengan pelajaran matematika. Please, bunda jangan marah ya kalau aku gak mudeng-mudeng diajarin sama Bunda?"

Hidup saya adalah anak-anak saya. Mereka memberikan begitu banyak inspirasi untuk saya. Merkalah sosok-sosok inspirator saya. Yang mereka tuntut dari saya? Tak banyak. Mereka hanya ingin saya ada dalam setiap kehidupan mereka. Tak peduli apakah saya dalam keadaan senang, bahagia, marah atau sedih sekalipun. Mereka mènerima saya tidak kurang tidak lebih. Dan inilah yang menjadi inspirasi terbesar dalam hidup saya.


#wanita&pena
#10dayschallange
#rumbelliterasimedia
#sosokinspirator
#day6

Nayya, My Brass Girl


Portofolio? Jujur, saya nggak punya pemahaman yang paripurna tentang portofolio ini. Semacam "kekayaan" pribadi kitakah, materi dan nonmateri? Saya menganggapnya begitu 😃.

Pertanyaannya, punyakah? Nggak, saya nggak punya. Anak-anakpun tidak (huh, ibu macam apa saya 🤔). Tapi dulu sekali, saya pernah mencatat secara detail tumbuh kembang anak-anak. Detail! Mulai dari cegukan pertama sampai ucapan pertamanya. Reaksinya, senyumnya, bahagianya. Semua saya rekam dalam tulisan. Tapi ya itu ... cuma bertahan sampe mereka usia 2 tahunan dan sekarang catatan-catatan tentang mereka itu dismpan dalam buku yang sudah di kardusin dan kardusnya entah yang mana! Halaaghhh ... saya sungguh mengabaikan ini. 

Sekarang ... sering sekali seminar-seminar parenting yang saya hadiri, menyampaikan pentingnya portofolio anak agar kita sebagai orang tua memiliki rekam jejak kehidupan anak-anak kita. Ini perlu, agar kita bisa lebih mengarahkan mereka sesuai  dengan fitrahnya dan peran spesifik hidup mereka. 

Seperti sekarang, saya akhirnya mencoba untuk memulainya lagi 'memetakan' anak-anak saya dan saya sendiri!. Mencatat dan mengingat hal-hal detail dari hidup anak-anak saya dan hidup saya sendiri. 

Nayya, anak saya yang pertama. Sifatnya sangat easy going. Tidak pendendam dan menyukai semua kegiatan. Saya kadang kewalahan untuk mengikuti maunya apa. Jeleknya, dia bosanan. Awal-awal ngotot setengah mati untuk ikutan kursus misalnya, maka di tengah jalan dia sudah memble!. Gregetan? Pastilah ... tapi, ya sabaaarrr .... kan memang sedang dalam proses mencari, right? (Ngadem-ngademin awake dhewe). 

Sejak kelas 7, Nayya memilih ekskul marchingband di sekolahnya . Latihan marchingband ini terasa sangat berat saat mendekati perlombaan. Seperti saat-saat sekarang, latihan tiap hari dan tiap weekend bandcamp di sekolah dengan latihan sampai tengah malam. Jangankan yang menjalankannya, yang nonton mereka latihan saja, ini boyok sudah banyak tempelan koyo! How about this girl? Mengeluhkah? Ternyata tidak! Dia sangat menikmati proses latihan yang berat itu. 

Ya, dia pernah mengeluh betapa beratnya latihan yang dia jalani. Apalagi kalau sudah menyangkut hari Sabtu dan Minggu, dimana teman-temannya menikmati libur dan weekend bersama keluarga,  saat yang sama mereka sedang digojlok tentang pentingnya kerjasama tim yang baik, dibentak karena langkah yang tak sama, atau suara instrumen yang sumbang. 

Maka kami sekeluarga membuat kesepakatan. Kami tidak akan berpegian menghabiskan weekend dan senang-senang sampai dengan hari perlombaan marchingband Nayya tiba. Nayya butuh support dari kami keluarganya. Seperti usaha saya untuk selalu hadir di setiap latihannya.  Hadir menyaksikan muka letihnya. Hadir menjadi bagian dari usahanya untuk menjadi terbaik lewat latihannya ini. Mensupportnya untuk menuntaskan kewajiban dan mencintainya. Jangan membuat hal yang berat itu menjadi beban. 


Meski sangat lelah, saya bisa merasakan betapa dia sangat menikmati latihannya. Saya paham dia sudah mulai mencintai apa yang saat ini sedang dilakukannya. Dia berusaha untuk memberikan yang terbaik. Dia berusaha untuk menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai bagian dari tim menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan. Dan saya merasakan, tidak hanya Nayya, hal yang sama ke teman-temannya. Betapa luar biasa anak-anak ini.

Saya hadir di tengah lelahnya. Bertepuk tangan untuk disply yang berhasil mereka jalankan dengan apik dengan rasa haru dan bangga. Dan meneteskan air mata untuk setiap latihan yang berakhir pada sesi itu. Proud of you my brass girl.


#wanita&pena
#10dayschallange
#RumbelLM
#portofolio
#day4


To Be A Better Person


Dokter.
Insinyur.
Penerbang.
Menteri.
Penyiar TV.
Motivator.
Bussiness Woman.

Dan tidak satupun dari cita-cita masa kecil saya yang saya tulis di atas, tercapai. Meski ada satu yang nyerempet (penyiar TV jadi penyiar radio), saya rasa ... cita-cita masa kecil saya sudah menguap entah sejak kapan.

Menyesalkah saya? SAMA SEKALI TIDAK. Saat saya sudah menikah dan akhirnya punya anak, saya punya cita-cita baru. Saat saya mulai berkomunitas, sayapun punya cita-cita yang baru juga. So, apa sih maumu mak? Cita-cita kok banyak men.

Perubahan cita-cita, sependek yang saya pahami sangatlah wajar. Bertambahnya pengalaman dan kenyataan yang dijalani, semua memiliki peran dalam membentuk kerangka berpikir kita. Itu juga memberi amunisi untuk kita bersikap dalam hidup. Perubahan cità-cita ini saya rasakan sejak saya memiliki banyak peran. Tapi garis merah dari semua aneka ragam cita-cita saya itu adalah saya ingin menjadi orang baik (better person then yesterday). Terlalu filosofis? Bisa jadi. Karena, apa coba tolak ukur dari orang baik itu, subjektifkan?

Picbfrom Google

Buat saya sekarang, cita-cita saya bukan lagi personal goal tapi udah menjadi kolektif. I am not to be a star I wants to be makes some stars. Di keluarga, cita-cita saya ndompleng ke cita-cita pak suami dan juga anak-anak. Di pekerjaan, cita-cita saya menyatu dengan cita-cita perusahaan dan tim, dan di komunitas, cita-cita saya melebur bersama cita-cita sekelompok ibu-ibu pembelajar.

Ing ngrasa sung tuladha Ing madya mangun karsa In Karsa, Tut wuri handayani. 

Semboyan dari Ki Hajar Dewantara ini, sungguhlah tepat. Saya ini saya ada dalam proses memahami dan menjaoankannya dalam kehidupan saya. Saat saya di depan, maka saya haruslah menjadi contoh yang baik. Memberikan teladan yang menginspirasi. Berada disamping agar bisa menemani dan di belakang untuk mensupport.

Posisi di samping dan di belakang ini, buat sebagian orang barangkali bukanlah posisi strategis. Bisa jadi, adalah orang yang paling babak belur, tapi tak terdengar. Heiii c'mon ... emak-emak kayak saya, buat saya pribadi, sudah tidak perlu pengakuan. Saya jauh lebih nyaman, saya bisa menjadi bagian dari kesuksesan orang. Bukankah setiap bintang butuh tepukan tangan? Nah, saya berada di situ.

Karena usiakah?
Tidak juga. Entahlah, saya merasa saya sudah cukup. Cukup dalam pengertian bahwa saya tidak butuh pengakuan. Jujur, saya merasa tidak perlu sama sekali. Seorang teman bilang, itu bahaya untuk karirmu. Saat kamu merasa sudah cukup dengan apa yang telah kamu dapatkan.

Salah! Rasa cukup ini lebih untuk warning ke saya sebenarnya. Karena ada yang lebih penting dibanding  sibuk dengan pencapaian-pencapaian pribadi. Ada yang lebih besar dari itu. Bagaimana mungkin saya bisa membuat sinar seseorang terang benderang disaat yang sama saya sibuk juga untuk menyilaukan banyak orang. Saya harus tau, kapan sinar saya dibutuhkan. Mumgkin tidak perlu terlalu menyilaukan tapi cukup umtuk menerangkan saat gelap gulita (kok serasa markom PLN ya?).

Saya mengimani, saat kita berusaha untuk memuliakan orang lain, maka saat itulah Allah akan memuliakan diri kita. 

Kalimat ini sungguh ampuh merubah pola pikir saya. Dan berdampak menjadi sikap dan perilaku saya yang juga berubah. Saya tidak pernah merasa sia-sia saya ada di belakang. Saya tidak pernah merasa sebal karena orang tidak kenal saya. Saya tidak pernah merasa tidak berharga. Karena cita-cita saya hanya ingin menjadi a better person. That's enough.


#wanita&pena
#10dayschallange
#rumbelliterasimedia
#cita-cita
#day3




Kamis, 25 Oktober 2018

My Happines Childhood


Masa kecil?

Apa yang kutahu tentang masa kecilku? 


Teramat banyak hal-hal indah dan hebat untuk dikenang. Mulut ini tak berhenti untuk menceritakannya berkali-kali ke anak-anakku. Betapa, Bunda mereka punya kenangan yang luar biasa saat seusia mereka. Bahkan seringkali mereka bertanya tak percaya, apakah benar dulu begitu? Apakah benar bermain itu, bisa seasyik itu? Apakah benar dulu bisa senikmat itu berteman?

Pic from google
Jaman saya kecil, entahlah ... yang kurasakan hanya kebaikan, kedamaian, keseruan dan kegembiraan. Rasanya kepala ini tak pernah sempat berpikir tentang kekerasan, kebencian, iri, apalagi percintaan. Tidak ada yang repot-repot mengurusi agama kami. Tidak ada pula yang menjelek-jelekkan apalagi menghakimi. Semua berjalan dengan selaras. Tak pernah pula merasa paling benar dan baik.

Keluargaku tinggal di komplek perumahan PERTAMINA (Alm Ayah saya adalah pegawai PERTAMINA) pada waktu itu, sungguh sangatlah beragam. Mulai dari ras, agama dan juga status sosial. Semua tidak pernah menjadi masalah besar. Yang saya rasakan, betapa toleransi menjaga hidup kami dengan damai, rukun dan bahagia. 

Aku ingat, sebelah rumah kami dulu adalah Om Sitanggang, orang Batak yang beragama Kristen denga tiga anaknya yang hampir sebaya dengan saya. Sebulan dua kali rumahnya dipakai untuk acara sembahyangan. Ibu saya, selalu membantu memasak makanan dan kue yang nantinya akan disajikan untuk para jemaat yang ikut sembahyangan di rumah Om Sitanggang. Begitupun saat keluarga kami megadakan pengajian. Om dan Tante Sitanggang akan dengan sigap membantu keluarga kami . Si Om akan sigap membantu almarhum Ayah memasang tenda dan si Tante akan membantu memasak makanan dan kue bersama Ibu di dapur. Dua Anjing meraka akan dikurung lebih awal di kandang belakang, agar tidak ribut sehingga pengajian di tempat kami berjalan lancar tanpa gangguan. Dan itu tanpa diminta. Biasanya Om Tanggang (saya biasanya memanggil dengan sebutan itu) akan segera memasukkan dua anjingnya ke kandang yang di belakang rumahnya (iya, beliau punya dua kandang, di belakang dan samping rumah) setelah adzan Ashar.

"Om Tanggang ... aku takut anjingnya, mau lewat gak berani. Diikat dulu Om, anjingnya. Aku mau ngaji".
Itu request yang sering aku lontarkan sambil teriak-teriak khas anak kecil setiap jam empat sore untuk berangkat TPQ. Pulang dari TPQ, si Om ini, berita terakhir yang saya tahu, beliau sekarang menjadi seorang Pendeta, selalu menyempatkan bertanya, " Sudah sampe mana kau ngajinya?. Jangan malas kau ngaji, biar mamak bapak kau punya anak baik". It's nice, right?

Sekarang ... jujur kadang saya merasa khawatir. Saat ini semua orang mudah tersinggung. Semua orang merasa paling benar dengan pilihan agamanya dan dengan mudahnya meyalahkan orang lain yang berbeda dengan yang diinginkan. Semua orang merasa paling berhak menentukan dan menghakimi perbuatan orang lain salah. Sedih? Lebih tepatnya  saya merasa sangat miris dan marah.

Add caption
Pernah sekali saya merasa speechless, sewaktu Nayya ingin bisa masuk ke mesin waktu dan ada di jaman saya saat seusianya. Katanya, jaman saya kecil jauh lebih seru dibanding jaman dia sekarang ini. Jaman dimana bermain diluar adalah aktivitas sehari-hari. Pulang sekolah jalan kaki ambil rute terjauh. Usil gangguin anjing dan lari sekencang mungkin saat dikejar. Hari Minggu, bersama beberapa orang temen sekomplek, pagi-pagi sudah menenteng bekal, memasukkannya dalam ransel dan kami asyik main, menelurusi ladang-ladang milik para penduduk yang tinggal jauh dari komplek. Pulang dari berpetualang ala anak bau kencur ini, sore hari dengan wajah hitam merah kepanasan, dan disemprot sama omelan dari ibu yang teriakannya lebih kenceng dari stereo lagu dangut Orkes Melayu.

Sekarang?
Boro-boro mau main, yang ada sepulang sekolah mereka sudah lelah untuk keluar kamar. Seabarek tugas sekolah dan juga kegiatan ekskul yang menguras waktu, mencuri masa senang-senang mereka. Mereka sudah loyo duluan untuk bersenang-senang di luar! Itupun ditambah dengan hal-hal yang membuat saya, mamaknya, menjadi paranoid melepas mereka bermain di luar. Too dangerous. Bahkan bermain di dalam rumahpun dengan fasilitas gadget menjadi perangkap bahaya besar lainnya lagi, maka lengkaplah sudah aktivitas mereka menjadi sangat terkukung oleh waktu dan dinding-dinding maya. Anak-anak sekarang jarang benar-benar bergaul. Mereka mudah sekali menjadi tersinggung hanya karena temannya tidak setuju dengan pemikirannya.

Mereka bisa pergi jauh sampai ke ujung dunia, tapi tak merasakan apa esensi dari berpergian itu sendiri. Tak merasakan langsung kucuran keringat karena berjalan jauh. Tak merasakan sengatan sinar matahari yang kadang membuat kulit perih. Tak pula mereka merasakan langsung, angin sepoi-sepoi yang bagaikan sapaan surga saat istirahat sebentar di bawah pohon. Ah, priceless!

Pic from google
Keadaan memang tidak sama. Jaman berubah dan setiap generasi membawa peran peradabannya sendiri. Nggak apple to apple rasanya kalau saya membandingkan masa kecil saya dengan masa kecil mereka saat ini. Tantangannya sudah jauh berubah. Mereka hidup saat ini, maka tantangan-tantangan yang mereka hadapi, adalah hal-hal saat sekarang. Mungkin mereka memang tidak bermain dengan kardus bekas dan menggeretnya sekencang mungkin di jalanan aspal hingga pantat panas, dan bersorak riang gembira melihat ada yang terpental dari gerombolan temannya yang berusaha sekeras mungkin untuk bisa tetap berada di atas kardus yang ditarik kencang. Di jalanan mana mereka bisa melakukannya? Mungkin juga mereka sudah nggak banyak yang suka naik dan manjat-manjat pohon (lha jarang ada yang punya pohon besar yang asyik untuk dipanjat bareng-bareng dan juga karena semua tanaman hampir rata-rata ditanam di pot, dicangkok. gimana mau manjat?).

Menurut saya, tugas orang tua jaman sekarang memang cukup berat sehubungan dengan menghadirkan dan menyiapkan masa-masa bermain untuk anak-anak. Karena pilihannya hanya dua. Orang tua harus kreatif sehingga bisa menciptakan susana bermain yang oke untuk anak, atau anak akan oke bermain dengan GADGET! Apapun caranya, buat saya menciptakan dan menghadirkan masa kecil yang bahagia buat anak itu adalah MUTLAK PERLU. Yes, apapun caranya. Let's play. 



#wanita&pena
#10dayschallange
#RumbelILM
#day1
#masakecilku

Yuk Curhat


Saya bukan tipikal emak-emak yang gampang curhat. Entah ya ... kayaknya buat saya, curhat itu harus pas momennya. Waktu, tempat, orangnya ... harus klik dulu. Ketiganya itukan faktor utama untuk si curhat ini jadi, enak apa nggaknya. Waktu dan tempatnya oke ... lha yang diajak curhat sukanya ngember, duh ... jadi maleskan? Atau orangnya oke, timingnya pas ... tempatnya berisiiiikkk, jadi bete juga deh curhatnya. Jadi, curhat buat saya, emang nggak bisa sering-seringkan? Karena tiga faktor utama tadi, jarang banget bisa klop, hehehe ...


"Lu sih enak, hidupmu lempeng-lempeng aja, nggak ada masalah". 

Kadang teman-teman saya suka bilang begini ke saya. Benarkah? Benarkah hidup saya baik-baik saja? Benarkah saya nggak ada masalah? Aah, rasanya sangat nggak mungkin ya, hidup kita nggak ada masalah. Mungkin mereka nggak tahu saja, karena memang saya tidak memberitahukannya.  Mereka belum tau saja kalau saya paling paling jago pasang tampang "hey, I'm fine. I'm ok", wkwkkwk. Mereka belum tahu saja kalau saya tuh senengnya ketawa. Seneng ketawa, susah ketawa, sedih lebih banyak ketawa daripada merananya, bahagia apalagi ... pastilah saya ketawa. Nah, susahkan tolak ukurnya? Tapi, tidak curhat bukan berarti bebas masalahkan? 

Pic from Google
Saya nggak pernah (bisa) menyalahkan emak-emak kayak saya yang hobinya curhat. Nggak bisa dan nggak fair sama sekali. Apa sebab? Karena sungguh sodar-sodara, menjadi seorang perempuan dengan fungsi sebagai istri, ibu sekaligus juga pekerja itu, lama-lama otak dan hidup bisa error kalau tidak ada pelampiasannya. Apalagi yang statusnya single fighter, huaaaaa ... beban berasa tiga kali lipat beratnya.

Kalau kata pak Suami, perempuan kalau sudah curhat itu jadinya panjang. Melebar kemana-mana, nggak fokus. Yang dengerin jadi bingung. Awal curhat soal tetangga depan rumah yang jarang senyum, eh melebarnya sampe ke parkir di sekolah anak-anak yang bikin senewen. Apa coba hubungannya. Hahahaha ... belum tau ya, kalau awal cerita sambel pete endingnya bisa ngomongin si Jan Ethes yang nggemesin. Ditanggapin salah ga ditanggapin lebih salah lagi.

Wahai kalian para Bapak, Ayah, Papi, Abi, whateverlah ... istri-istrimu itu sungguh butuh penyeimbang dalam hidupnya yang super dashyat itu. Bahagialah bila mereka masih mau ngoceh seharian. Anggaplah ngoceh itu sebagai curhatnya. Kami ini butuh mengeluarkan semburan 20 ribu kata ... kalau mau mental kami sehat. Tak sanggup mendengarnya, buatkanlah teh manis panas (atau es teh?) maka secepat itu ocehan panjang kami jadi senyuman paling manis.

Pic from Google
Sebenarnya, curhat itu sejatinya memang menyehatkan mental Baca deh lengkapanya di sini. Syaratnya cuma butuh teman  yang tepat, yang ngeklik. Kehadiran orang yang tepat ini, terasa sekali bisa membantu kita untuk terhindar dari stress berkepanjangan. Kesedian orang lain untuk mendengarkan apa yang kita rasakan dan sekaligus mampu memberikan dukungan, itu adalah anugrah. Nggak punya temen atau susah cerita ke orang lain (kayak saya), c'mon mak, tenang aja ... kita bisa ketuk pintu langit. Curhat sama yang empunya hidup itu, jamin bikin hati tenaang ga pake deg-degan bakalan bocor kemana-mana. 
"Jangan cerita ke siapa-siapa ya". 
Jrreennnggg .....!!! Besoknya teman-teman searisan tahu semua masalah kita, duh. Ah sudahlah, saat ini saya berusaha untuk tidak menyalahkan para mamak yang hobi curhat ini. Saya tiďak mau menjudge mereka.

Kadang sosial media saya penuh juga dengan curhatan para mamak, ya ... dinikmati sajalah. Asal curhatnya masih di koridor yang benar (nggak juga tiba-tiba jadi ahli politik atau agama, atau apalah apalah yang malah bikin masalah baru), saya masih oke-oke saja menikmatinya. 

Pic from Google
Saya sendiri sebenarnya punya juga sih teman curhat yang jarang dicurhati. Bukan kenapa-kenapa, kadang saya merasa bahwa masalah saya, sayalah yang paling tahu penyelesaiannya. Kadang saya hanya butuh untuk didengar dan itu cukup. Nah, susahnya ... kadang si teman curhat ini berubah menjadi hakim dengan segala penilaian-penilaian pribadinya. Kita sering kebablasan dengan peran kita. Harusnya kita jadi pendengar yang baik, bukan sebagai hakim untuk masalah yang kita dengar sepihak. Tidak gampang memang mendengarkan cerita dan keluhan orang tanpa dibarengi dengan keinginan untuk berkomentar. Menahan diri itu susah jendral!

Makanya kalau ada teman yang bilang, "mbak ... aku mau curhat", deng deng deng ... saya langsung deg-degan. Karena harus berusaha menjaga amanah mereka dan bersikap yang menyenangkan sebgai teman mereka. Terpaksa? Tentu tidak. Ini adalah cara saya menghargai kepercayaan yang mereka berikan ke saya. Saya akan berusaha menahan diri untuk tidak banyak komentar dan juga menjadi pendengar yang baik. Membiarkan mereka lega mengeluarkan unge-unegnya. Dan you know ... pada dasarnya saya memang hobi mendengarkan cerita, hehehehe ....


#wanita&pena
#10dayschallange
#RumbelLM
#Day2



Seribu Cerita Dari Dapur

Dapur? Ini bagian rumah yang tidak terlalu sering saya sentuh. Bukan karena tidak bisa masak, tapi karena memang saya tidak begitu suka ...